Seperti mataku, mulutku terbelalak. Seperti mulutku, mataku ternganga. Menjelajah. Menangkap-nangkap. Bundar mata itu, merah bibir itu, baris alis itu, rona pipi itu. Entah milik siapa. Aku tak mengenal namanya, apalagi jati dirinya. Desir anginlah yang bergembira, dapat mengurai pendar kilau rambutnya, bisa menyingkap helai kain di betisnya, bisa menyelinap di sela-sela antara dagu dan sembulan montok di dadanya. Bertiup dan bertiup lagi. Begitu pula cahaya emas dari ufuk barat yang terkoyak ranting pohon angsana. Dapat mengelus kulitnya, singgah di kedalaman telaga bening mripatnya. Terpantul ke belalak mataku.
Aku di antara Zagros dan Elburz
April 3, 2007Selagi masih kacung
Di sekitar oase jejakku menahun
Meredam panas mendulang salju
Di selatanku Zagros menutup Teluk Petro
Di utaraku Elburz menghalang Danau Makro
Bukan hijau zamrud yang kupulung
Bukan pula kilau sutra yang kupintal
Bukan pula keelokan dara-dara Arya yang kucelinguk
Aku datang hanya untuk mendongak
Menonton orang-orang berjenggot panjang
Berkomat-kamit
Yang sering tak kupahami maknanya
Di depan anak cucu Zaratustra itu silaku terpahat
Mendengar mantra-mantra kependetaan
Sambil sesekali mendengkur
Tapi apa jadinya…
Ragaku terpental, sukmaku terjungkal
Jubah-jubah itu sontak lenyap
Entah apa dan siapa yang keparat?
Menyalahkan nasib?
Ubun-ubunku terantuk persimpangan jalan
Menabrak bayang-bayang Gedung Putih
Membentur Dinding Ratapan
Mencium amis bumi Zion
Mengendus anyir negeri Seribu Satu Malam
Menohok kepala-kepala ber-igal
Menonjok hidung bangsa matahari terbenam
Melarut peredaran siang dan malam
Menderet gelombang kebisingan
Dari pesisir Pasifik hingga Atlantik
Dan astaghfirullah!!
Dungu memanjakanku
Sampai jenggotku berjulur bersembulan
Dan aku tak tau deretan akhir detikku
Tuk ketuk pintu tempat aku pulang
Aku gentayangan tersesat….